Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 43]
Selasa, 27 Februari 2018

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita masih dipertemukan untuk bersama-sama melanjutkan seri mengenal tauhid dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Telah kita mulai pada seri terdahulu tentang judul bab yang baru yaitu mengenai tafsir tauhid dan syahadat laa ilaha illallah.

Penulis membawakan bab ini setelah bab tentang dakwah kepada syahadat laa ilaha illallah. Hal ini memberikan faidah bahwa seorang yang mendakwahkan tauhid harus menjelaskan makna dan hakikat tauhid itu, tidak cukup hanya dengan mengajak secara global tanpa menjelaskan rincian ajarannya. Sebagaimana iman tidaklah cukup dengan ucapan di lisan, sebab iman harus dilandasi keyakinan dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.

Tidak Cukup Bermodal Pengakuan

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, di tengah masyarakat banyak kita jumpai orang-orang yang hanya mencukupkan diri dengan pengakuan dan lalai dari konsekuensi dari ucapannya. Mereka mengaku beriman secara lisan tetapi tidak mewujudkan nilai-nilai iman di dalam kehidupan. Adalah sangat memprihatinkan apabila hal ini juga menimpa diri kita. Kita menyangka berada di atas kebenaran, tetapi sejatinya perilaku dan keyakinan kita lebih dekat kepada kebatilan.

Di sinilah letak pentingnya bagi kita untuk kembali meneliti dan memperbaiki diri. Sudahkah pengakuan kita sebagai seorang muslim memberikan bekas di dalam kehidupan sehari-hari? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik itu adalah yang membuat kaum muslimin lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Siapakah kita apabila dibandingkan dengan para sahabat nabi? Orang-orang yang telah diberi jaminan surga sementara jasad mereka berjalan di atas muka bumi. Namun di saat yang sama mereka merasa takut dirinya terjangkiti kemunafikan. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- berkata, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka semuanya merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa imannya setara dengan keimanan Jibril dan Mika’il…”

Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin memadukan di dalam dirinya antara berbuat kebaikan dengan merasa khawatir, sedangkan orang kafir/fajir memadukan di dalam dirinya antara berbuat keburukan dengan merasa aman-aman saja.”

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:

Islam yang sahih pada masa sekarang ini adalah terasing. Adapun islam yang hanya sekedar pengakuan, maka lihatlah jumlah umat Islam sekarang ini. Jumlah mereka lebih dari 1 milyar. Meskipun demikian Islam yang sahih itu telah mengalami keterasingan. Karena seandainya jumlah 1 milyar umat ini berada di atas Islam yang sahih/jernih niscaya tidak ada seorang pun [umat manapun] di dunia ini yang berani menghadapi mereka!!

Lihatlah, orang-orang Yahudi -yang mereka itu adalah saudara dari kera-kera dan babi-babi- suatu kaum yang telah ditimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan [oleh Allah]. Bukankah saat ini mereka ‘menguasai’ berbagai negeri kaum muslimin.

Bandingkanlah dengan kaum muslimin yang bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Badar. Ketika itu jumlah mereka hanya sekitar tiga ratus belasan orang. Saksikanlah apa yang berhasil mereka lakukan?

Para sahabat dibandingkan dengan seluruh penduduk bumi; berapa jumlah mereka? Meskipun demikian [yaitu mereka sedikit, pent], mereka berhasil menaklukkan berbagai kota dan negeri. Mereka pun berhasil menundukkan Kisra dan Kaisar.

Mereka sanggup untuk memimpin seluruh dunia. Hal itu dikarenakan mereka berada di atas Islam yang sahih/jernih dan lurus, bukan Islam yang berhenti pada pengakuan belaka.

(Sumber : Syarh Tafsir Kalimah at-Tauhid, hlm. 32)

Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah rahimahullah berkata, “Ibadah kepada-Nya adalah taat kepada-Nya dengan melakukan hal yang diperintahkan dan meninggalkan hal yang dilarang. Itulah hakikat agama Islam. Karena makna ‘islam’ adalah kepasrahan kepada Allah yang mengandung puncak kepatuhan dan diliputi puncak perendahan diri dan ketundukan.” Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, bahwa agama Allah ini disebut dengan ‘islam’ disebabkan ia mengandung perendahan diri dan ketundukan kepada perintah dan larangan Allah (lihat al-Fawa’id al-‘ilmiyah min ad-Durus al-Baziyah, 2/82)

Perhatian Ulama Terhadap Aqidah dan Iman

Kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu dan amal-amal adalah seperti kedudukan pondasi dalam sebuah bangunan, seperti akar bagi pohon. Sebagaimana halnya bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak bisa tegak tanpa akarnya maka demikian pula ilmu dan amal seorang tidak akan bermanfaat kecuali apabila didasari dengan keyakinan yang benar (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 8)

Ilmu aqidah ini disebut juga oleh para ulama dengan berbagai macam sebutan. Diantaranya adalah mereka sebut dengan nama ‘al-Iman’, ‘as-Sunnah’, ‘at-Tauhid’, ‘al-‘Aqidah’, ‘Ushul ad-Din’, ‘asy-Syari’ah’, dan disebut juga dengan istilah ‘al-Fiqh al-Akbar’. Banyaknya nama atau sebutan bagi ilmu ini menunjukkan kemuliaan dan keagungannya di dalam Islam. Karena sesungguhnya kebahagiaan di dunia ini sangat tergantung pada ilmu aqidah. Kebutuhan hamba terhadapnya berada di atas semua kebutuhan. Dan keterdesakan dirinya untuk memahami ilmu ini adalah jauh lebih mendesak daripada semua hal yang mendesak (lihat keterangan Syaikh Abu Bakr al-Hanbali hafizhahullah dalam mukadimah kitab It-haf Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah bi Syarhil Bidayah fil ‘Aqidah karya Aiman bin Ali Musa hafizhahullah, hal. 7)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata :

Iman itu terdiri dari keenam rukun ini (iman kepada Allah, malaikat, dst). Ia dinamakan dengan sebutan Ushul/Pokok-Pokok Iman. Atau disebut juga dengan rukun-rukun iman. Dari rukun-rukun inilah tersusun akidah. Akidah itu sendiri adalah apa-apa yang diyakini dan dipegang kuat-kuat di dalam hati. Ia biasa disebut akidah, disebut juga dengan iman. Sebagaimana halnya para salaf biasa menyebutnya dengan iman.

Selain itu perkara akidah ini juga sering disebut dengan nama as-Sunnah. Oleh sebab itulah anda dapati bahwa karya-karya salaf itu berbeda-beda nama/judulnya. Sebagiannya diberi nama dengan iman atau ushulul iman. Sebagian lagi ada yang bernama dengan as-Sunnah, seperti kitab as-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad. Demikian pula kitab as-Sunnah karya al-Atsram. Ada juga kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah karya al-Laalikaa’i. Diantara para ulama ada juga yang menamai akidah dengan sebutan iman. Ada juga yang menamai dengan akidah saja. Dan adapula yang menyebutnya dengan nama tauhid. Ini semuanya adalah nama-nama yang beraneka ragam lafaznya akan tetapi sama maksudnya. Setiap nama tersebut bersumber dari dalil-dalil yang ada. Bukan sekedar istilah belaka sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang.

Dari sanalah maka para ulama memberikan perhatian besar dalam masalah ini. Masalah akidah, iman, atau as-Sunnah. Mereka memberikan perhatian terhadap perkara ini dengan perhatian yang sangat besar. Mereka mencermati perkara-perkara ini dan menyusun banyak sekali tulisan di dalamnya untuk menjelaskan masalah akidah, pokok-pokoknya dan juga menerangkan dalil-dalil yang mendasarinya. Hal itu dikarenakan masalah akidah ini merupakan pondasi yang menjadi landasan tegaknya agama. Mereka menulis karya-karyanya baik dalam bentuk prosa ataupun bait-bait syair. Dan mereka padukan di dalamnya berbagai dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.

(Sumber : Syarh ad-Durrah al-Mudhiyyah, hlm. 13 karya Syaikh al-Fauzan)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata :

Demikian pula diantara fenomena kelemahan akidah di masa kita sekarang ini adalah tidak adanya perhatian banyak da’i terhadap perkara ini. Disana ada da’i-da’i yang mengajak/berdakwah kepada Islam, akan tetapi Islam yang seperti apa yang mereka serukan. Sementara mereka justru tidak mengajak kepada akidah.

Bisa jadi mereka berdakwah/mengajak orang kepada sholat, untuk bersikap jujur, menjaga amanah, dan amal-amal kebaikan yang lain. Akan tetapi akidah tidaklah terbersit dalam perhatian mereka. Bagaimana mungkin mereka menjadi da’i sedangkan mereka memiliki sifat/perilaku semacam ini?

Mereka bukanlah da’i kepada Islam dalam makna yang sejati. Sebab da’i yang mengajak kepada Islam senantiasa memperhatikan asas Islam, sumber dan pokok kekuatannya, yaitu akidah.

(Sumber : http://www.assakina.com/mohadrat/16294.html)

Jangan Terpedaya oleh Prestasi Anda!

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:

Janganlah seorang insan terpedaya oleh dirinya sendiri!

Janganlah seorang terbuai dengan kesalihan dan keistiqomahan dirinya, sehingga dia merasa aman dari penyimpangan/kesesatan!

Betapa banyak orang beriman yang terjerumus dalam penyimpangan, meskipun dia muslim, bahkan meskipun dia dahulunya orang ‘alim/ahli ilmu! Allah jalla wa ‘ala pun menyimpangkan mereka akibat berbagai penyimpangan yang muncul dari diri mereka…

Janganlah seorang insan merasa dirinya aman/bebas dari ancaman keburukan lalu menganggap suci/mentazkiyah dirinya sendiri. Lalu dia berkata, “Demikianlah sepantasnya, karena tidak ada masalah pada diriku.” “Saya seorang mukmin.” “Saya seorang ‘alim.” Kemudian dia merasa bebas dari penyimpangan. Dia pun bergaul bersama orang-orang yang tidak baik, mendengarkan penuturan mereka, dan melihat/menceburkan diri ke dalam fitnah-fitnah.

Dia mengira bahwa dirinya sudah mengerti, dirinya mukmin, sehingga tidak mungkin akan tertipu. Tidak boleh seorang itu merasa aman atas dirinya sendiri/merasa bebas dari bahaya dan keburukan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati manusia itu berada di antara dua jari diantara jari-jemari ar-Rahman.” Oleh sebab itu jangan sampai dia merasa dirinya aman/bebas dari fitnah…

Padahal, Nabi Ibrahim kekasih Allah ‘alaihish sholatu was salam berdoa, “Wahai Rabbku, jauhkanlah aku dan anak-anak keturunanku dari menyembah patung. Wahai Rabbku, sesungguhnya mereka itu telah menyesatkan banyak diantara manusia.”

Seorang insan tidak semestinya merasa dirinya aman dari jeratan fitnah dan su’ul khotimah. Walaupun dia adalah termasuk golongan orang yang paling salih sekalipun… Dia tidak bisa menjamin dirinya pasti bisa meraih husnul khotimah. Meskipun dia adalah orang yang paling salih sekalipun.

Demikian juga, jangan sampai orang berputus asa dari rahmat Allah, walaupun dia termasuk golongan orang yang paling kafir sekalipun. Karena bisa jadi Allah anugerahkan kepadanya taubat lalu dia meninggal di atas Islam sehingga masuk ke dalam surga. Selama orang itu masih dalam lingkaran kehidupan, maka masih ada kemungkinan baginya untuk terbawa ke sini atau ke situ. Ingatlah, bahwa amal-amal itu dinilai dengan akhir/penutupnya.

(Sumber : http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=6598)

Meraih Ilmu Yang Bermanfaat

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang dimurkai –al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia beramal namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti jalannya orang-orang yang sesat –adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 21)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)

Allah berfirman (yang artinya), “Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk/khusyu’ hati mereka karena mengingat Allah dan kebenaran yang turun, dan janganlah mereka itu menjadi seperti orang-orang yang dberikan kitab sebelumnya. Berlalu masa yang panjang maka hati mereka pun menjadi keras, dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik. Ketahuilah bahwasanya Allah mampu menghidupkan bumi setelah kematiannya. Sungguh Kami telah menerangkan kepada kalian ayat-ayat mudah-mudahan kalian mau memikirkan.” (al-Hadid : 16-17). Sebagaimana bumi yang mati menjadi hidup kembali dengan siraman air hujan dari langit maka demikian pula hati yang mati dan keras akan menjadi hidup dan bercahaya dengan siraman petunjuk dan taufik dari Rabb penguasa langit dan bumi.

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka demikian pula hati; tidak akan mungkin dia menjadi hidup dan merasakan kelezatan hidup serta menikmatan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kecuali dengan al-Qur’an ini. Tanpa al-Qur’an dan tanpa beramal dengannya maka seorang insan hanya akan menjalani kehidupan ini seperti kehidupan binatang, bukan kehidupan yang hakiki.” (lihat Hablullah al-Mamdud, hal. 9)  

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap kali seorang hamba semakin bertakwa dia akan semakin meninggi untuk menggapai hidayah yang lain. Dia akan senantiasa mengalami peningkatan hidayah selama dia mengalami peningkatan takwa. Dan setiap kali dia kehilangan suatu bagian ketakwaan luputlah darinya suatu bagian dari hidayah yang sebanding dengannya. Setiap kali dia bertakwa maka bertambahlah petunjuk yang dia miliki. Dan setiap kali dia mengikuti hidayah maka ketakwaannya juga semakin bertambah.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim, 1/102-103)   

Syaikh Shalih al-‘Ushaimi hafizhahullah berkata, “Barangsiapa membersihkan hatinya maka di situlah ilmu akan bersemayam. Dan barangsiapa tidak mengangkat kotoran/najis (dosa) yang ada di dalam hatinya ilmu akan berpisah dan pergi darinya.” Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Haram bagi hati untuk dimasuki cahaya (ilmu) sementara di dalamnya ada sesuatu yang dibenci oleh Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Khulashah Ta’zhim al-‘Ilmi, hal. 9-10)

Demikian sekelumit catatan yang bisa disajikan dengan taufik dan pertolongan Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

# Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-43/